Bulan Oktober biasanya diperingati dirayakan sebagai harinya kaum muda. Dengan mengambil momentum Sumpah Pemuda pada Kongres Pemuda II di Jakarta, 28 Oktober 1928, secara simbolis kaum muda Indonesia biasanya mengepalkan tangan setinggi-tingginya sambil berorasi. Memang tidak ada yang salah. Memperingati hari itu—apalagi hari yang kelak menjadi salah satu tonggak sejarah—memang harus menggebu-gebu. Namun akan menjadi sangat salah ketika momentum itu hanya basa-basi (atau istilah kerennya: seremonial) belaka. Basa-basi berarti tidak mengerti proses historis di balik Kongres Pemuda II—dan “Zaman Bergerak” secara umum—karena malas membaca atau justru sengaja mendistorsi maknanya. Namun, di sisi lain, kita juga harus mengkritisi Hari Sumpah Pemuda yang menghasilkan tiga kesepakatan itu: bertumpah darah satu, berbangsa satu, berbahasa satu. Kritis dalam arti melihatnya dalam sudut pandang lain selain yang ada di buku-buku sejarah nasional. Sayangnya, tulisan ini tidak akan mengarah ke sana. Sumpah Pemuda, betapa pun banyak kritik atasnya, adalah salah satu turning point penting dalam sejarah negara ini di mana kaum muda mengambil peran dan tanggung jawab yang besar.
Begitulah memang tugasnya kaum muda di seluruh dunia. Berada di garda terdepan dengan tangan dan mata yang berapi-api untuk menjadi motor suatu perubahan. Tengoklah umur Soekarno ketika membacakan pleidoi berjudul “Indonesia Menggugat” yang menggetarkan, Suwardi Suryaningrat ketika menulis “Als ik eens Nederland was” yang membuat berang pihak kolonial, Semaoen ketika memimpin pemogokan buruh kereta api Semarang, Karl Marx bersama Engels ketika merumuskan “Manifesto Komunis” yang legendaris, kisah bermotor Che Guevara bersama temannya mengelilingi Amerika Latin yang menginspirasi dunia, atau Camilla Valejo ketika memimpin teman-temannya demonstrasi di Cile. Ini tentu baru sebagian kecil contoh saja dari banyak kaum muda yang mengambil peran sebagai perintis sekaligus motor perubahan. Tentu semuanya melalui jalan terjal: dibungkam dan direpresi. Negara sebagai pemegang status quo tentunya tak ingin ada pergolakan. Negara ingin damai sentosa saja agar arus kapital tetap mengalir dengan damai sentosa pula. Kita bisa berkaca pada negeri sendiri. Meski sebagian besar pembaca mungkin tidak merasakan bagaimana rasanya hidup di zaman Orde Baru, namun sejarah telah menampakkan dirinya melalui buku-buku kritis bahwa “kedamaian” Orde Baru adalah kedamaian semu. Tak boleh ada kritik secuil pun terhadap pemerintah. Jangankan kritik, punya rambut gondrong pun siap-siap dibabat militer!
Orang tua (baca: orang tua yang kolot) selalu mengatur, atau minimal menghalangi kaum muda dengan dalih moral. Saya berani menyebut merek berhala pada moralitas! Padahal, kalau mau dikorek, moral macam apa yang selalu sama di setiap zaman? Toh, standar moral selalu berubah-ubah tergantung konteks zaman. Sejak kecil, di keluarga, sekolah, atau di lingkungan masyarakat, kita dididik untuk tunduk dan patuh tanpa boleh bertanya mengapa harus demikian. Bukan berarti kita harus melawan membabi-buta. Namun masalahnya, ketertundukkan dan kepatuhan itu membuat kita tak bisa berpikir kritis dan logis. Gie pernah bilang: guru yang tak bisa dikritik boleh masuk keranjang sampah! Tepat sekali kata-katanya itu, karena menjadi guru bukan berarti menggantikan peran Tuhan. Menjadi guru adalah menjadi kawan berdiskusi. Semestinya tak boleh ada hierarki sama sekali. Pembaca silakan lihat dan pelajari model pendidikan Finlandia. Betapa guru di sana hanya sekadar fasilitator belajar. Jangan lupa yang terpenting: apapun mata pelajarannya, setiap guru ingin semua peserta didiknya bahagia! Jauh betul dengan model pendidikan di negeri kita ini. Tugas-tugas dan hapalan bertumpuk-tumpuk entah apa gunanya. Bukannya bahagia, justru sangat membebani peserta didik. Beruntunglah hari-hari belakangan ini peserta didik mulai dari SMA, SMP, bahkan SD sudah berani menggugat kesewenang-wenangan yang dilakukan gurunya. Itulah sebenar-benarnya pendidikan!
Di mana pun di dunia ini, salah satu tugas kaum muda adalah mengoreksi kesalahan-kesalahan kaum tua. Memang dulunya kaum tua itu berjuang juga, berdarah-darah juga. Namun banyak kejadian menunjukkan ketika sudah menggulingkan tatanan lama, kaum tua—yang dulunya muda ini—tak ada bedanya dengan orang-orang yang mereka gulingkan. Karena nyaman, mereka mulai terjangkit penyakit lama: bersikap feodal dan membenci perubahan. Michael Novak, dalam bukunya, Teologi Politik Radikal, memberi satu contoh kasus baik. Ketika terjadi Perang Vietnam tahun 1960-an, kaum muda radikal di Amerika Serikat menolak ikut wajib militer dan mengampanyekan penarikan tentara AS dari Vietnam. Kaum muda radikal mendapatkan momentumnya dalam melawan kaum tua yang hidup di masa Perang Dunia II. Novak menyebut angkatan ini sebagai Kiri Baru, yang mana menurutnya kekuatannya terletak pada komunitas dan identitas, berbeda dengan Kiri Lama. Persoalan identitas muncul, menurut Novak, ketika seseorang mulai melangkah keluar dari adat kebiasaan dan rutinitas hidupnya, kemudian tak bisa lagi mempercayai apa yang dikatakan orang-orang lain mengenai dirinya. Dalam konteks kaum muda AS, mereka diwarisi begitu saja identitas yang melekat di diri mereka itu. Namun, akhirnya kaum muda ini sadar ketika mereka melihat negara mereka yang berwatak munafik, rasis, dan tak beradab. Mereka mulai bertanya: “Siapakah aku?” Dan pertanyaan ini bukanlah pertanyaan matematis yang bisa diketahui presisi jawabannya. Seseorang harus menggali, memutuskan, dan menciptakan jawabannya sendiri. Sementara persoalan komunitas adalah persoalan di mana manusia saling menciptakan. Saling menciptakan bukan berarti saling menegasi, namun saling menghargai dan mendengarkan agar tercipta kesadaran baru setiap saat. Manusia tak bisa hidup sendirian, bukan? Dalam upaya menemukan diri dan kesadaran itu izinkan saya mengutip tulisan seorang mahasiswi di suatu universitas di AS:
“Untuk kita semua yang berusia di bawah 30 tahun, apa yang tidak kita miliki adalah semangat pemacu, atau katakanlah semacam visi moral. Kita tak mampu menyusun alur-alur pengalaman kita yang berserakan menjadi pola yang lebih utuh, dan kita tahu itu. Kita menulis untuk menyenangkan penguasa ini atau dosen itu, sementara dunia terus berputar di bawah kaki kita. Kita menyatakan tak percaya pada apaun, karena di dalam lubuk hati kita pun tak percaya pada diri sendiri. Proses re-edukasi merupakan tantangan kita, sebuah proses penemuan diri melalui proses yang susah payah. Namun, tanpa itu tak ada manusia yang bisa memahami alasan perlawanan yang singkat ini di tengah keabadian, dan jika revolusi kita belum bersungguh-sungguh, ini karena kita belumlah menjadi sesuatu yang pantas diperjuangkan; di dasar impian-impian kita, di tengah hubungan kita dengan orang lain. Kita sadari kebenaran ungkapan Yeats bahwa akan ada lebih banyak keberanian jika kita bersikap jujur dan telanjang.”
Pertanyakan terus dirimu agar kau mengenal siapa dirimu!
Add Comment