Judul Buku : Lembata
Editor : F. Rahardi
Penerbit, Tahun : Lamalera, 2008
Jumlah Halaman : x + 256 halaman
Jenis Cover : Soft Cover
Floribertus Rahardi atau yang akrab dikenal F. Rahardi, seorang penulis Indonesia yang berhasil meloloskan karya novel Lembata dalam kancah penghargaan Khatulistiwa Literary Award ke-9 tahun 2009 untuk kategori prosa terbaik. Lembata memang dikenal sebagai sebuah karya yang mengkritik gereja karena melanggengkan kapitalisme modern.
Beberapa kawan mengatakan kepada saya, novel Lembata tak jauh berbeda dari narasi gugatan yang dituliskan Ayu Utami pada novelnya Saman. Tidak ingin terjebak pada judgement tersebut, saya pun tetap ngotot melanjutkan perjalanan bersama Pedro, tokoh utama dari novel Lembata ini.
Namanya Pedro, seorang pastor asal Flores yang sempat menimba ilmu ekonomi di Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta. Sebagai seorang pastor diosesan, Pedro ditugaskan masuk Keuskupan Larantuka, namun ditugaskan ke salah satu daerah Flores Timur, yaitu di Aliuroba, Lembata.
Pedro yang digambarkan sebagai pria yang dikaruniai kegantengan luar biasa sukses membuat Luciola, seorang perempuan kaya-raya, putri seorang ‘mafia’ yang menjalankan bisnis judi dan pelacuran tingkat dunia jatuh cinta. Cerita Lembata pun mengalir secara ringkas dan berpindah-pindah dari ketokohan Pedro dan Luciola.
Saking cintanya, Luciola alias Ola ini mengejar Pedro ke Flores, dia terus menguntit kegiatan Pedro dan sesekali mencoba merayu Pedro untuk menikahinya, atau cukup sekali saja berhubungan seks dengannya. Sayang, Ola gagal menaklukan Pedro, Ola pun kembali ke Ibukota, lalu berkeliling dunia mencari jati diri dan membuang-buang uangnya berpesta.
Pedro pun menjalani pelayanan terhadap masyarakat setempat dengan beberapa kebingungan karena harus menghadapi relasi eksklusif dalam gereja yang menyulitkan dirinya untuk melakukan sebuah inisiatif. Sebagai lulusan Ilmu Ekonomi dengan Indeks Prestasi 3,8, Pedro memiliki beban moral untuk mengubah kehidupan masyarakat Lembata menjadi lebih baik. Menurutnya, ada sebuah kejanggalan dengan kondisi ekonomi masyarakat serta perilaku pemerintah daerah serta lembaga swadaya masyarakat setempat.
Gugatan itu bermula ketika Pedro mengecek harga pokok bahan makanan dan data dari luar negeri. Pasalnya, “Harga kopra hanya Rp 3.000 per kilogram. Tapi petani kelapa harus membeli minyak goreng dengan harga Rp 8.000 per setengah liter. Mereka makan hanya satu kali sehari dan gizi mereka juga sangat buruk.” Sebuah kontradiksi yang cukup jitu untuk menggambarkan lilitan kapitalisme.
Dia pun melanjutkan, “Di Lavaux, sehari Ola menghabiskan seratus euro setara dengan Rp 1.300.000.” “Umatku di Aliuroba, pendapatan rata-ratanya sebulan hanya sekitar Rp 300.000, seperempat dari pengeluaranmu sehari” (hlm. 63).
Pedro semakin gerah dengan impor gandum yang masuk ke Indonesia memiliki harga yang tinggi. Adapun penggunaan gandum ini termasuk untuk perjamuan anggur dan hosti di dalam tradisi ekaristi Katolik. Untuk melawan dominasi ekonomi berbasis impor, Pedro lantas mencoba anggur dengan moke. Ya, moke adalah sejenis minum beralkohol tradisional atau tuak yang melalui proses penyulingan hingga mencapai kadar alkohol 60%. Sementara itu, untuk hosti dari gandum diganti dengan jagung titi.
Tindakan Pedro sukses mengundang kecaman dari banyak pihak. Dia pun mendapatkan sanksi atas tindakan yang dianggap telah menyalahi otoritas gereja. Pedro pun keluar sebagai pastor dan hidup dengan bantuan dari beberapa bantuan sesama imam yang menghargai kegelisahannya. Pedro pun dibantu untuk bangkit dari keterpurukan dan membina perkebunan bagi masyarakat setempat.
Dalam kondisi itu, tokoh Ola kembali. Dia pun menjelma perempuan yang bertaubat dari segala perilakunya yang selama ini tidak berfaedah. Ola ikut membantu Pedro membantu masyarakat Lembata, bahkan, dengan bantuan kekayaan sang ayah, Ola bisa membuat koperasi untuk masyarakat.
Adapun pilihan hidup Ola tercermin dari kalimat berikut; “… Papi, aku mau bekerja untuk kemanusiaan. Melalui gereja, aku mau bekerja untuk kemanusiaan. …… Kamu masih mau tetap membantu aku bukan? Pedro, cinta, terlebih seks, ternyata memang bukan hal yang utama ya?” (hlm. 256). Hingga akhir kisah, sekalipun sudah menanggalkan jubahnya, Pedro tetap setia pada panggilannya untuk selibat.
Perlawanan dalam Lembata
Lembata, bagi saya akhirnya bukan sekadar novel yang biasa-biasa saja. Apalagi bagi saya yang merupakan perempuan berdarah Flores, Nusa Tenggara Timur. Saya sudah pernah mengunjungi Larantuka, sehingga saya memiliki gambaran dan juga ikatan terhadap daerah yang diceritakan oleh Rahardi. Hal ini membuat secara subyektif saya mengapresiasi kemampuan Rahardi menggambarkan konteks sosial-politik di daerah mayoritas Katolik, sekalipun Rahardi bukan berasal dari lokasi itu.
Secara obyektif, saya merasa isu yang dibawa oleh Rahardi dalam novel ini juga sangat menarik yaitu perlawanan terhadap kapitalisme. Banyak kritik pada beberapa resensi dan ulasan sebelumnya bahwa Rahardi hanya penulis yang latah untuk ikut mengkritik gereja seiring dengan populernya Da Vinci Code, karya Dan Brown pada kisaran waktu yang tak jauh berbeda dengan kelahiran novel Lembata. Argumen tersebut ada benarnya, namun di sisi lain menandakan perlawanan terhadap kapitalisme adalah sebuah isu yang layak dibicarakan dan direnungkan bersamaan dengan belum terselesaikannya ketimpangan ekonomi.
Jangan dilupakan bahwa si penulis pernah berkiprah cukup lama di majalah Trubus, sebuah majalah pertanian. Tak mengherankan jika Rahardi bisa sangat rinci dalam menguraikan problem pertanian di Flores Timur tentang unsur tanah, iklim, potensi komoditi yang cocok ditanam, harga komoditi di pasaran, dan lainnya. Dengan latar belakang itu, Rahardi menawarkan sebuah wacana perlawanan terhadap hegemoni pasar pertanian global.
Salah satu yang hal cukup disayangkan dari novel ini adalah sebuah akhir kisah yang terlalu indah. Mengapa saya bilang begitu? Pedro tetap selibat, dan Ola menjadi dewi penyelamat bagi masyarakat Aliuroba dengan segala kekayaan yang dimilikinya. Narasi ini seolah memberi konklusi bahwa permasalahan ekonomi bisa selesai dengan donatur atau derma. Padahal narasi ini masih bisa dilanjutkan untuk memberikan spirit keadilan ekonomi bagi setiap pembaca, dan spirit itu bisa bertahan lintas zaman.
Hal ini nampak kontradiktif dengan pengakuan Rahardi yang pernah dimuat di Kompas, pada edisi Jumat, 13 November 2009. Rahardi mengaku, novel Lembata adalah salah satu novel biografi, dimana Rahardi hanya ingin menceritakan tentang seorang pastor yang pernah melakukan perlawanan seperti itu. Novel ini sebenarnya hanya ingin mengenang sang pastor dan berharap perjuangan dia tidak selesai tetapi masih berjalan. Sayangnya, akhir kisah tidak menggambarkan keinginan Rahardi.
Kritik lainnya adalah saya ingin menjawab ungkapan teman saya bahwa Lembata itu seperti Saman. Menurut sudut pandang saya, Lembata bukan Saman. Keduanya adalah karya yang sangat berbeda, hanya memiliki kesamaan latar belakang tokoh dan konteks sosial. Nyatanya tokoh Ola tidak bisa disamakan dengan Yasmin Moningka sekalipun keduanya sama-sama orang Manado.
Ola digambarkan sangat liar, sementara Yasmin tokoh yang intelek. Selain itu Pedro digambarkan seperti lelaki yang kokoh pendiriannya, tidak semanusiawi tokoh Saman yang akhirnya bercinta dengan Yasmin. Dengan kata lain, saya memiliki kecurigaan Rahardi tetap memakai perspektif gender yang tak seimbang. Apalagi, ah, Yasmin Moningka dan Ola sama-sama digambarkan sebagai perempuan Manado. Sebagai penikmat kedua novel itu membuat saya bertanya, alasan memasukkan eksistensi perempuan Manado dengan narasi-narasi kritik ekstensif seperti ini.
Akhir kata, novel ini memiliki nilai tersendiri yang cukup dominan soal gugatan terhadap agama dan kapitalisme. Penggugatan adalah sebuah keberanian, jadi tak ada alasan untuk tidak memenangkannya. Semoga karya-karya sejenis lahir lagi dengan perspektif yang tidak bias gender, ataupun ras, serta mengusung isu yang membangun spirit perubahan.
Utk beli buku ini dmn ya, buku lembata sebuah novel