Tulisan ini adalah kilas balik pengalaman saya meliput tentang reforma agraria. Meskipun sama sekali tidak mendalam, tetapi percakapan hari itu meninggalkan beberapa pertanyaan besar bagi saya soal reforma agraria.
Baru-baru ini, jajaran kabinet pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla mengumumkan pencapaian selama empat tahun, salah satunya adalah reforma agraria. Mengutip Bisnis.com, Menteri Agraria Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil mengatakan persoalan pertanahan dan tata ruang disikapi secara serius dan massif di masa pemerintahan Jokowi-JK karena sebelumnya memang tidak tertangani dengan baik. Ada pun total sertifikasi lahan sudah mencapai 4,7 juta bidang.
Dikutip dari CNBC Indonesia Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution juga mengakui Reforma Agraria belum maksimal. Padahal program ini sangat penting dilaksanakan dalam upaya pemerintah mengatasi masalah konflik pertanahan dan redistribusi keadilan. Untuk menggali ingatan kita, apa itu reforma agraria? Nah, reforma agraria tidak sama dengan reformasi agraria.
Mengutip defisini dari Indonesiabaik.id reforma agraria adalah upaya menguatkan hak tanah atas pertanian desa. Mengapa perlu dikuatkan? Ini adalah upaya membantu golongan yang rentan termarjinalkan pada masa konflik lahan yakni golongan petani. Apalagi, angka ketimpangan kepemilikan tanah sangat besar, dan masih ada 10,2 juta masyarakat miskin tersebar di 25.863 desa di seluruh Indonesia. Sehingga, ada 71,06% orang miskin di Indonesia masih menggantungkan hidup pada sumber daya hutan.
Atas nama reforma agraria, pada pertengahan tahun 2018 ini, pemerintah mengklaim menerima bantuan dana melalui International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) dari World Bank Group dengan biaya sebesar USD240 juta, di mana USD200 juta berasal dari World Bank dan USD40 juta dari pemerintah Indonesia. Nyatanya, dana tersebut menimbulkan dilema di antara para pegiat reforma agraria dan tata ruang karena khawatir penggunaan dana itu tidak tepat sasaran.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika mengatakan ada distorsi informasi pasca kucuran dana dari Bank Dunia untuk kebijakan pertanahan mencuat ke publik. Dewi menjelaskan, pemerintah melakukan klaim sepihak bahwa uang senilai USD200 juta itu adalah dana untuk percepatan reforma agraria. Padahal, menurut rilis yang dikeluarkan oleh Bank Dunia, dana itu diperuntukkan bagi program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), dan adminstrasi pertanahan.
“Ini harus diluruskan, ini diatasnamakan reforma agrarian, padahal bukan,” jelas Dewi di The Akmani Hotel, Jumat (5/8/2018) lalu.
Dia menjelaskan, reforma agrarian memiliki definisi dan rantai program yang panjang, tidak semata soal sertifikasi tanah. Pasalnya, dalam reforma agraria ada konteks penataan struktur agrarian berkeadilan, tata ulang redistribusi lahan ke petani, barulah sertifikasi lahan. Setelah mendapatkan sertifikat, masih dilanjutkan dengan program penunjang misalnya program penunjang pupuk dan aset lain kepada masyarakat, transfer teknologi, dan pemberdayaan masyarakat.
“Jangan sampai ini dijadikan hutang atas reforma agrarian, padahal ini hanya program administrasi pertanahan dan program satu peta [Kebijakan Satu Peta/One Map Policy],” jelas Dewi.
Ungkapan Dewi juga dipertegas oleh Direktur Eksekutif Rujak Centre for Urban Studies Elisa Sutanudjaja bahwa Kementerian Agraria Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) berpotensi menimbulkan mispersepsi jika menyebut pinjaman dari Bank Dunia tersebut sebagai dana untuk reforma agraria.
“Dari yang saya baca itu bukan untuk reforma agraria, itu adalah pinjaman Bank Dunia untuk program one map program dan pendaftaran tanah sistematis lengkap [PTSL],” kata Elisa.
Sebagai informasi saja, One Map Policy atau Kebijakan Satu Peta ini tercantum dalam Paket Kebijakan Ekonomi VIII. Ada pun dalam paket kebijakan memiliki visi pengentasan masalah dalam pengembangan kawasan atau infrastruktur. Alasannya, seringkali program pembangunan terbentur dengan sejumlah masalah terkait pemanfaatan ruang dan penggunaan lahan. Konflik ini sulit diselesaikan karena Informasi Geospasial Tematik (IGT) saling tumpang tindih satu sama lain.
Nantinya, kebijakan satu peta yang mengacu pada satu referensi geospasial, satu standar, satu basis data dan satu geoportal untuk mempercepat pelaksanaan pembangunan nasional menjadi salah satu prioritas pemerintah. Ada pun skala peta ini ditentukan sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 9/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Dengan Tingkat Ketelitian 1:50.000.
Sesditjen Penataan Agraria Kementerian ATR/BPN Reny Windyawati mengakui konsep besar reforma agraria memang memiliki rangkaian kegiatan yang sangat panjang. Menurut dia, awal dari reforma agraria adalah pendataan dan sertifikasi. Saat ini pemerintah masih fokus dengan penyelesaian tahap pertama yaitu pendataan dan sertifikasi. Oleh sebab itu, dana yang datang dari Bank Dunia memang akan diprioritaskan untuk pendataan dan pendaftaran tanah terlebih dahulu lalu melakukan sertifikasi.
“Proses ini sangat panjang dan berbeda-beda, memang sekarang kita fokus dulu dengan pendataan barulah setelah itu dilakukan sertifikasi,” ujar Reny.
Dalam kesempatan yang sama, saya pun menggali informasi lebih dalam dengan mengacu pada konteks landasan hukum reforma agraria. Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada, Maria S. W. Soemardjono mengatakan dalam penggunaan anggaran untuk reforma agrarian, pemerintah perlu bertolak pada dasar hukum yang berlaku. Ada pun yang menjadi acuan dalam reforma agraria adalah Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5/1960. Setelah itu, pemerintah juga perlu mengacu pada Tap MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
“Bantuan itu kan usulan kita, karena dana kita tak cukup. Itu legal, asal bisa dipertanggung jawabkan. Maka dana itu bisa dibreakdown untuk apa saja. Kalau saya selama itu bisa masuk di program besarnya, arah kebijakan reforma agraria yaitu melaksanakan penataan kembali, menyelenggarakan pendataan tanah secara komprehensif, dan penyelesaian konflik, ini harus diutamakan,” tutur Maria.
Serangkaian ungkapan narasumber kepada saya spontan membuat saya merasa adanya misinformasi antara pemangku kebijakan, lembaga swadaya masyarakat, maupun masyarakat sipil. Kondisi pendanaan negara yang mungkin tidak mampu meloloskan upaya penyelesaian reforma agraria dalam lima tahun ini secara legal bisa menerima bantuan dana dari Bank Dunia. Hanya saja, perlu ada transparansi lebih lanjut terkait penggunaan dan target dampak. Perlu ada laporan berkelanjutan tentang realisasi penggunaan anggaran tersebut.
Saat kita berteriak tentang aksi korupsi yang begitu marak, ada baiknya kita pun membiasakan diri melakukan pengawasan pada penggunaan anggaran di Indonesia. Semoga saja, cita-cita reforma agraria, tidak hanya menjadi pemanis pada kampanye 2014 silam. Sebaliknya, realisasi pada konsep utuh reforma agraria, yakni penguatan masyarakat tani bisa sungguh diwujudkan. Jadi, teruslah bertanya, masih ingatkah kamu pada reforma agraria?
Add Comment