Gloria Fransisca Resensi Buku

Menapaki Jalan Refleksi Iman Bung Karno

Upaya mengenal Soekarno memang tidak bisa hanya membaca naskah-naskah retorika yang pernah dibacakannya kala memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Arsip itu hanyalah sebagian kecil dari proses pembentukan Soekarno sebagai seorang negarawan. Tentunya, ada rangkaian kisah menarik yang akhirnya mendorong kelahiran naskah-naskah ataupun keputusan seorang Soekarno.

Menulis tentang Bung Karno memang menjadi topik yang tidak ada habisnya. Berbagai macam buku baru selalu muncul seiring dengan semakin tuanya kenangan akan diri Bung Karno. Sosok Bung Karno memang selalu dirindukan dalam elemen masyarakat, bahkan kerap menjadi tolak ukur kelayakan seorang calon pemimpin nomor satu di Indonesia.

Berlandaskan kesadaran itu, tulisan ini akan mencoba menyajikan resensi singkat dua buku terbaru tentang Bung Karno yang rilis pada 2017. Kebetulan, topik yang diangkat dalam dua buku ini tentang Pancasila dan perjalanan religius seorang Soekarno. Perbedaannya adalah dua buku ini membahas sosok Soekarno dalam pisau refleksi Islam dan satu lagi pisau refleksi Katolik. Tulisan ini akan mengantarkan pembaca untuk menapaki temuan-temuan kedua penulis tentang Soekarno, agama, Pancasila, dan kebangsaan Indonesia.

Soekarno dan Perwujudan Jihad

https://i2.wp.com/www.lensaindonesia.com/wp-content/uploads/2017/06/Cover-Bung-karno-lowres.jpg?resize=339%2C258&ssl=1

Judul Buku                  : Bung Karno Menerjemahkan Al-Quran

Penulis                         : Mochamad Nur Arifin

Penerbit, Tahun Terbit: Mizan, 2017

Jumlah Halaman          : VII+272 halaman

ISBN                           : 978-602-441-028-5

Mari kita berangkat dengan menanggalkan segala gelar kemewahan yang telah disandang Bung Karno. Mari kita melihat dia sebagai pribadi yang sederhana dan belum menorehkan satu pun karya dan perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia.

Sama seperti manusia pada umumnya, Soekarno menjalani ‘gua kehidupan’ sebagai seorang hamba Tuhan atau hamba Allah. Dia memulai perjalanan batin sebagai Islam dalam asuhan HOS Tjokroaminoto sang pemimpin Sarekat Islam. Dalam gua kehidupan, Soekarno telah menjalani refleksi batin sesuai dengan realita yang dihadapinya. Menurut si penulis, Mochamad Nur Arifin, yang akrab saya panggil Cak Ipin, Bung Karno bertemu dengan seorang petani miskin bernama Marhaen. Dialog Bung Karno dan Marhaen mendorong dia melakukan pergerakan untuk membantu masyarakat Indonesia yang bernasib malang dengan sebutan ‘Kaum Marhaen’.

Cak Ipin menilai Soekarno menapaki jalan refleksi iman tahap pertama yaitu membaca fenomena dimana fenomena itu adalah objek misi kenabian. Dalam Islam, proses itu disebut Iqra, proses yang juga dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai pembacaan realitas yang penuh ketidakadilan secara ekonomi, diskriminasi sosial, dan hegemoni politik.

Pribadi yang reflektif, begitulah Cak Ipin menggambarkan sosok Bung Karno. Hal ini tercermin dari salah satu sambutan Bung Karno pada Muktamar ke-13 Nahdhatul Ulama pada 17 November 1959. Bung Karno berkata, “Setiap pekerjaan baik adalah kepada Allah,” dan bagi Bung Karno, ibadah tak hanya ritual tetapi juga sosial.

Tak banyak juga tulisan yang mengulas dialog Bung Karno dengan Tuhan serta bagaimana proses dialog itu menghasilkan sebuah keputusan-keputusan besar. Cak Ipin menceritakan pada malam sebelum sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno berdoa kepada Tuhan karena menghadapi kegalauan. Saya cantumkan doa Bung Karno yang ditulis ulang oleh Cak Ipin.

“Ya Allah, ya Rabbi! Berikanlah ilham kepadaku. Besok pagi aku harus berpidato mengusulkan dasar-dasar Indonesia merdeka. Pertama, benarkah keyakinanku, ya Tuhan, bahwa kemerdekaan itu harus didasarkan atas persatuan dan kesatuan bangsa? Kedua, Ya Allah, ya Rabbi, berikanlah petunjuk kepadaku, berikanlah ilham kepadaku, kalau ada dasar-dasar lain yang harus kukemukakan, apakah dasar-dasar itu?”¹

Pagi harinya, Bung Karno melaksanakan shalat Subuh, lalu dia seolah mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. Menurut Bung Karno, Pancasila adalah dasar negara terbaik untuk Indonesia. Bung Karno menegaskan Pancasila tidak bertentangan dengan Al-Quran, karena Al-Quran sendiri mengakui adanya keragaman di dunia sebagai fitrah dari kemanusiaan.

Cak Ipin mengulas kisah Bung Karno dengan ciamik dalam buku ini. Dia bahkan berani ‘menyenggol’ mengapa Bung Karno dengan Nahdhatul Ulama pada masa lalu hatinya serasi dan menyatu, namun dalam relasi tak pernah bertemu. Bahwasanya, Bung Karno mengimplementasikan ijtihad atau api Islam dengan memaknai nasionalisme sebagai api perjuangan melawan kolonialisme, sementara NU mengimplementasikan ijtihad dengan memaknai nasionalisme dalam bingkai cinta tanah air sebagai wujud iman.

Adapun beberapa catatan penting untuk buku ini. Pertama, dia muncul tepat pada masa dimana Indonesia mudah digoyangkan dengan isu intoleransi. Kedua, Cak Ipin, yang dikenal pula sebagai Wakil Bupati paling muda se-Indonesia ini berhasil mengumpulkan literatur untuk menggambarkan sisi religiositas seorang Soekarno. Ketiga, buku ini juga dilengkapi dengan halaman kosong untuk catatan pembaca, bagian ini sangat penting untuk mengajak pembaca berdialog dan refleksi, suatu tahap yang kadang terlupakan dalam proses pembacaan sejarah ataupun naskah lainnya.

Meskipun begitu, beberapa kali ada pengulangan latar belakang yang dilakukan penulis untuk mengembalikan pembaca kepada alur narasi. Tujuan penulis baik, namun beresiko membuat pembaca kebosanan.

Nah, sekarang mari kita lanjutkan perjalanan bersama Bung Karno ke buku berikutnya, sebuah buku kumpulan pentigraf mengenal Bung Karno selama di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Soekarno dan Nasionalisme Wujud Persahabatan Sejati

https://i1.wp.com/lh3.googleusercontent.com/-x5km8VdajM0/We01-_q5fRI/AAAAAAAAEuI/E7BkDHdM3lohlvziiTnLtQOQrxgvEnr4wCJoC/w3154-h2246/Cov.%2BSukarno%2B%25281%2529.jpg?resize=393%2C280&ssl=1Judul Buku                  : Bung Karno, Gereja Katolik, SVD & Pancasila

Penulis                         : Alfred B. Jogo Ena

Penerbit, Tahun Terbit: Bajawa Press, 2017

Jumlah Halaman          : 128 halaman

ISBN                           : 978-979-7576-88-9

Bung Karno memang seorang pengembara rohani. Sebagai seorang pengembara, tentu ada titik dimana dia pun mengalami desolasi iman atau kelemahan iman kepada Allah. Menurut pengantar buku yang ditulis oleh Valens Daki-Soo, Pemimpin Redaksi indonesiasatu.co, sebelum dibuang ke Ende oleh pemerintah Belanda pada 1934, Bung Karno mengalami kelunturan iman untuk terus memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Layaknya seorang pejuang yang tak memperoleh hasil, dia merasa segala upaya yang dia lakukan adalah sebuah kesia-siaan. Hal ini terlihat dari surat Soekarno kepada pemerintah kolonial Belanda pada 30 Agustus 1933 agar Belanda membebaskan dia.

“Aku berjanji untuk selanjutnya mengundurkan diri dari kehidupan politik, dan menjalankan raktik arsitek dan keinsinyuran. Tidak ada lain yang aku inginkan sekarang daripada kehidupan yang tenang.”²

Pudarnya hasrat berpolitik Soekarno adalah momen yang terdengar sangat aneh. Kembali seperti yang saya sebutkan di awal resensi itu, lihatlah Bung Karno sebagai pribadi yang utuh dan apa-adanya, bukan seorang proklamator.

Bung Karno dan Ende adalah simbiosis mutualisme, dimana Bung Karno pada masa pengasingan bisa mengaktualisasikan diri sesuai bidang ilmunya yakni membangun jembatan dan rumah. Di sisi lain, masyarakat Kota Ende belum memiliki kesadaran politik, yang terlihat tidak mendorong kebangkitan semangat politik Soekarno. Sayangnya, konteks political silence masyarakat Ende justru mendukung kelahiran Soekarno ‘baru’ menjadi pribadi yang lebih tangguh.³

Selama di Ende, Soekarno bersahabat dengan para pastor Katolik asal Belanda dari ordo Societas Verbi Divini (SVD). Mereka adalah Pastor Gerardus Huijtink SVD dan Pastor Johannes Bouma SVD. Persahabatan mereka telah membangunkan jiwa seni dan pemberontak Bung Karno. Kedua pastor ini mengizinkan Soekarno untuk membuka klub teater dengan nama Kelimoetoe Toneel Club yang sehari-hari berlatih di aula gereja.

Bung Karno juga seringkali menghabiskan waktu merenung di bawah pohon sukun yang tak jauh dari rumahnya. Dia sering berdiskusi dengan para pastor, dan membaca semua buku dan literature di perpustakaan pastoral. Dari proses itu terbangun kesadaran dan ide baru dalam diri Soekarno untuk membangun Indonesia. Apalagi, dalam merumuskan konsep negara Indonesia, Bung Karno juga mengambil inspirasi dari beberapa Ajaran Sosial Gereja (ASG) Katolik. Oleh sebab itu, benarlah jika di Ende Bung Karno memang mendapatkan lebih banyak waktu untuk berkontemplasi tentang Islam dan tafsir kerohanian lain, ketimbang saat berada di Jawa dia lebih banyak berkutat dalam permenungan tentang Islam dan konsep-konsep Marxisme.

Salah satu dialog yang paling membekas dari kisah ini adalah ketika Bung Karno akhirnya menjadi Presiden Indonesia, pada 1951 dia pergi ke Ende dan menemui rakyatnya. Saat itu dia bertanya, “Di mana Pater G. Huijtink?” Ternyata, sang pastor berada di dalam kerumunan masyarakat. Soekarno pun bertanya kepada misionaris itu di hadapan seluruh masyarakat, “Dulu, aku datang ke Ende sebagai tahanan dan orang buangan dan Pater Huijtink banyak sekali membantuku. Sekarang, aku kembali ke Ende sebagai Presiden. Apa yang Pater Huijtink minta dari Presiden?” Jawab sang pastor, “Tuan Presiden, saya tidak meminta apapun yang lain. Saya hanya punya satu keinginan, menjadi Warga Negara Indonesia.” Sejak saat itu, Soekarno memutuskan bahwa Pastor Huijtink menjadi Warga Negara Indonesia. Dia pun mengabdikan hidupnya sampai meninggal sebagai gembala umat di Ende.

Buku ini sejujurnya adalah kumpulan pentigraf sehingga bukan merupakan narasi otentik Soekarno selama di Ende. Si penulis mencoba menuliskan ulang dalam bahasa yang lebih sederhana sehingga pembaca membutuhkan bacaan-bacaan ekstra terkait pembentukan karakter Bung Karno selama di Ende. Maklum saja, belum banyak buku yang mengulas secara komprehensif fase kehidupan Soekarno selama di Ende atau topik lain tentang seorang Soekarno muda ketimbang karya-karya besar setelah dia menjadi Presiden pertama Indonesia.

Penutup

Dua buku ini telah memberikan saya sebuah gambar tentang sosok Soekarno bahwa ada banyak tangan manusia yang ikut berkontribusi dalam membentuk dirinya. Selain itu, dua buku ini menunjukkan bahwa sebuah hal-hal besar hanya bisa dilakukan melalui refleksi dan dialektika dengan sesama. Proses pemaknaan iman Islam, proses dialektika Soekarno dengan berbagai macam latar belakang ikut melahirkan konsep kebhinekaan Indonesia.

Dua buku ini sukses membawa saya merenungkan betapa penting menjaga kerukunan antarumat beragama serta mengukuhkan tali persahabatan lintas iman. Buku-buku ini lahir bukan semata untuk mengenang sosok Soekarno. Sebaliknya, menurut saya buku-buku ini lahir untuk mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk menapaki jalan refleksi, jalan persahabatan yang pernah dilakukan Soekarno.

Kisah ini adalah teladan yang harus menjadi pegangan bagi setiap kita semua. Kita dapat mengetahui peran sederhana, namun penting, dari berbagai golongan bagi kebaikan Indonesia. Pancasila lahir dengan semangat menghargai perbedaan. Oleh sebab itu menurut saya, semangat ini relevan untuk diperjuangkan sepanjang masa.

Catatan Kaki:

  1. Mochamad Nur Arifin. Bung Karno Menerjemahkan Al-Quran. hlm. 21-22
  2. Bob Berthy Hering (ed). Soekarno’s Mentjapai Indonesia Merdeka. Queensland: Southeast Asian Monograph Series. No. 1, 1978. hlm. 103
  3. Alfred B. Jogo Ena. Bung Karno, Gereja Katolik, SVD & Pancasila. hlm. 13

About the author

Gloria Fransisca

Angkatan 5 Agenda 18. Lulus dari Universitas Multimedia Nusantara sebagai seorang jurnalis. Kini bekerja pada salah satu harian ekonomi, namun selalu tertarik pada isu-isu politik.

Perempuan ini menyukai tulisan-tulisan karya Pramoedya Ananta Toer, Anthony De Mello SJ, dan Leo Tolstoy.

Add Comment

Click here to post a comment