Pengarang: John Green
Judul: Looking for Alaska
Bahasa: Bahasa Inggris
Genre: Novel Remaja
Penerbit: Dutton Juvenile
Tahun Terbut: 2005
Jumlah Halaman: 223
ISBN: 0-525-47506-0
Ditengah gemuruh suara petir khas musim penghujan, ditambah lagi dengan rasa letih jiwa ketika harus terhimpit sesak dalam kemacetan. Bunyi-bunyi keras klakson mobil berdengung di telinga, membawa keributan tambahan yang tak berarti. Hiruk piruk kota seperti ini bukan lagi hal baru bagi mereka yang mencari pemenuhan jiwa lewat materi dan kesibukan tanpa henti. Orang-orang dewasa berebut jabatan, dan para remajanya bingung mencari kenikmatan. Manusia kota kekinian sulit mendapat sunyi, sulit menemukan gambaran dirinya yang asli, yang ada hanyalah angka-angka kosong yang seolah-olah menjadi sebuah identitas. Siapakah manusia kota itu jika bukan kita? Kitalah orang-orang yang hanyut dalam alur hidup tanpa tahu arah, makna perjalanan misteri itu telah terbengkalai entah di mana. Kehampaan yang mengakar dalam jiwa. Karena seringnya kita hidup demikian, kita tak dapat lagi menemukan arti hidup, barangkali sampai kita mati.
Sebuah cuplikan dari buku pertama yang langsung menjadi bestseller milik John Green, Looking for Alaska, tulisnya, “Imagining the future is a kind of nostalgia. (…) You spend your whole life stuck in the labyrinth, thinking about how you’ll escape it one day, and how awesome it will be, and imagining that future keeps you going, but you never do it. You just use the future to escape the present.” Perkataan tokoh Alaska tersebut dalam percakapannya dengan Pudge bukan hanya menyentuh Pudge, tapi juga para pembaca. Pudge dan Alaska, karakter hasil dari buah pemikiran penulis terkenal John Green dalam ceritanya ini mampu menggambarkan secara riil perasaan penulis akan kehidupan yang hampa.
Melalui kisah Pudge dan Alaska kita dibawa kembali ke dalam suatu realita pedih, bahwa banyak dari kita yang kini menjalani hidup tanpa merasa hidup. Miris memang melihat banyak orang yang jiwanya mati karena terjebak dalam labirin kehidupan yang seolah-olah menghisap nafas kehidupan kita masing-masing. Suatu paradoks: “hidup tetapi tidak hidup” itulah yang diangkat dalam cerita John Green yang tertuang dalam bukunya Looking for Alaska.
Kepenatan seorang pemuda bernama Pudge dalam menghadapi kehidupan diceritakan bak realita. Dalam ceritanya, Pudge berusaha meninggalkan sebuah kondisi hidup yang stagnan agar bisa menemukan sebuah pemantik bagi hidupnya. Sebagai seorang remaja, ia rela pindah ke sekolah lain agar bisa mengejar the great perhaps, kemungkinan besar; mimpi yang selama ini ia idam-idamkan. Di sekolahnya yang baru, Pudge bertemu dengan Alaska (dan geng-nya). Alaska ini gadis yang unik. Di balik terpurukan dan hidupnya yang ternyata rumit ia selalu bisa mencari kesenangan hidup. Dia tahu hidup itu seperti labirin maka ia menjalani dengan bersenang-senang, salah satu caranya dengan menjaili orang lain. Setelah bertemu Alaska, Pudge menjadi sadar bahwa kita tidak bisa terpaku pada masa lalu atau harapan masa depan, kita hidup untuk masa sekarang. Apabila kita tidak menjalankan hidup yang sekarang (at the present) bagaimana mungkin kita bisa merasa hidup di masa depan? Lalu, ada suatu ketika Alaska akhirnya pergi meninggalkan Pudge. Kemudian Pudge pun menjalani kehidupan lebih dari sekadar berusaha mencari arti hidup yang baru seperti Alaska menikmati hidup selagi bisa, tetapi juga mencari bayang-bayang gadis yang mengubah hidupnya, Alaska.
Banyak kisah yang dibintangi oleh kedua karakter Pudge dan Alaska menggambarkan kenakalan masa remaja serta rasa bingung dan takut yang dialami oleh manusia secara umum. Hidup seperti apakah yang tepat? Apakah hidup yang selalu dihantui oleh masa depan? Atau kehidupan dengan ketakutan kelak akan terpuruk atau hidup yang hanya sesaat, seru hari ini saja, tapi masa depan tak menentu? Misteri itu akan terus terbawa dalam kehidupan Pudge, maupun para pembaca sampai akhir kisah.
Looking for Alaska merupakan novel pertama John Green yang berhasil meraih anugerah Michael Printz Award. Secara fisik, buku dengan sampul bergambar asap dari sebuah lilin yang mati kurang memikat pembaca, jika bukan karena judulnya yang unik, Looking for Alaska. Penulisnya, John Green jelas pintar dalam membuat para pembacanya berpikir tentang sebuah tempat yang dingin dan asing, bukan seseorang dengan jiwa yang panas membara. Asap lilin ini hanya bisa bermakna apabila para pembaca selesai mendapatkan ilham yang terselubung dalam sampul yang sederhana.
Segi pembabakan cerita juga dirangkai sedemikian rupa yakni, dengan menceritakan peristiwa-peristiwa sebelum dan sesudah suatu kejadian memilukan. Rangkaian kejadian itu kemudian mengajak pembaca menelusuri perasaan para tokoh dan melihat ke diri mereka masing-masing. Penggambaran suatu raga dalam ilustrasi sebuah lilin akan selalu ada, tetapi tanpa api, bak asap yang jiwa di dalamnya itu akan mati. John Green jelas piawai menyampaikan pesan yang begitu dalam melalui karyanya yang satu ini. Buku ini menjadi bahan bacaan berat bagi mereka yang tengah berjuang untuk hidup. Dari segi penulisan, John Green merefleksikan hidup melalui pemikiran dewasa dalam karakter remaja yang tidak mudah dipahami. Hanya mereka yang sedang mencari jati diri, arti hidup atau telah melewati akhir masa remaja yang mampu secara total mendalami pemikiran sang penulis melalui tokoh utamanya, Pudge dan Alaska.
Banyak tulisan atau quote penting yang diutarakan oleh para tokoh maupun penulisnya yang mampu membuat pembaca berpikir lebih jernih tentang kehidupan masing-masing. Buku Looking for Alaska tanpa diragukan lagi merupakan suatu bahan bacaan reflektif yang mampu membangun pribadi, bukan sekadar cerita romansa remaja klise yang menghibur.
Add Comment